cover
Contact Name
pramesti
Contact Email
fadesti@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
fadesti@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota surakarta,
Jawa tengah
INDONESIA
Gelar : Jurnal Seni Budaya
ISSN : 14109700     EISSN : 26559153     DOI : -
Core Subject : Humanities, Art,
Gelar focuses on theoretical and empirical research in the Arts and Culture.
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 16, No 1 (2018)" : 10 Documents clear
PROSES PENCIPTAAN MUSIK SUARA SINDHEN: INTERPRETASI GENDHING GINONJING KARYA NUR HANDAYANI Nur Handayani
Gelar : Jurnal Seni Budaya Vol 16, No 1 (2018)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (338.102 KB) | DOI: 10.33153/glr.v16i1.2344

Abstract

ABSTRAK Karya “Suara Sindhen: Interpretasi Gendhing Ginonjing”, dilatarbelakangi oleh hasil olah pikir sekaligus interpretasi atas Gendhing Ginonjing. Bermula saat pengkarya membaca surat Kartini yang berkisah tentang Gendhing Ginonjing. Kegelisahan Kartini sepurnanya mendengarkan Gendhing Ginonjing, dituangkan lewat surat tersebut dengan sangat dramatis. Esensi surat tersebut, memberikan stimulan kepada pengkarya untuk membuat karya berdasarkan Gendhing Ginonjing. Jika Kartini dapat menuangkan kembali Gendhing Ginonjing secara sastrawi melalui suratnya, pengkarya sebagai pesindhen juga ingin mengungkapkan ulang Gendhing Ginonjing melalui olah pikir musikal dan diwujudkan dengan karya seni orkestrasi sindhen. Dari hasil pengamatan dan analisis, Gendhing Ginonjing dapat dipilah menjadi tiga konsep musikal. Pertama adalah andegan sindhenan Gendhing Ginonjing yang dikembangkan melibatkan wangsalan, abon-abon, parikan, senggakan, serta sekar bebas sebagai unsur teks. Dari unsur lagu, menyajikan perbenturan harmoni adumanis, salahnggumun, kempyung, pendawan, serta gembyang sehingga menciptakan harmoni unik atau nada yang membuat bunyi musik menjadi khas. Kedua adalah komposisi yang berakar dari selingan Gendhing Ginonjing berjudul Lelagon Lelo Ledung, yang digarap dan disajikan dengan model uro-uro atau akapela, dikemas dengan paradigma sindhenan gaya Surakarta, dengan menonjolkan dinamika power suara pesindhen serta memanfaatkan aspek keruangan dengan teknik akustika bunyi surround. Ketiga adalah komposisi yang berakar dari surat Kartini tentang Gendhing Ginonjing. Karya ini merepresentasikan perasaan Kartini yang tertuang dalam surat. Bagian ini menggarap elemen vokal melalui perpaduan berbagai gaya sindhenan meliputi: Jawa Barat, Banyumas, Jawa Tengah, serta Banyuwangi, yang kemudian diformulasikan kembali menjadi konsep musik garapan baru. Penyusunan karya ini menggunakan beberapa metode sebagai langkah penciptaannya, meliputi: menentukan bahan, mencari bahan, mengolah bahan, mengemas bahan, serta mempergelarkannya. Rangkaian tersebut adalah proses dari lahirnya karya “Suara Sindhen: Interpretasi Gendhing Ginonjing”. Kata kunci: Suara Sindhen, Gendhing Ginonjing, Komposisi Musik.  ABSTRACT The work of “ Suara Sindhen: Interpretasi Gendhing Ginonjing “ is based on the analysis and interpretation of Gendhing Ginonjing. It started when the creator read Kartini’s letter about Gendhing Ginonjing. Kartini’s anxiety was as easy as listening to Gendhing Ginonjing, written in the letter dramatically. The essence of the letter gives stimulants to the creator to create works based on Gendhing Ginonjing. If Kartini can rewrite Gendhing Ginonjing literally through his letter, a sindhen also wants to reveal Gendhing Ginonjing through musical thought and embodied through the sindhen’s orchestral artwork. From the observation and analysis, Gendhing Ginonjing can be divided into three musical concepts. The first is adegan of Gendhing Ginonjing which is developed involving wangsalan, abon-abon, parikan, senggakan, as well as sekar bebas as the text elements. The elements of song presents a mix of harmoni adumanis, salahnggumun, kempyung, pendawan, serta gembyang and thereby creating a unique harmony or tone that makes a special music sounds. Sec-ondly, the composition is rooted from Gendhing Ginonjing interval entitled Lelagon Lelo Ledung, which is treated and presented with uro-uro or akapela model, packed in Surakarta style paradigm, focusing on the dynamic power of pesindhen voice and utilizing the spatial aspect with the surround sound acoustic tech-niques. The third is a composition based on the Kartini letter about Gendhing Ginonjing. This work represents Kartini’s feeling written in the letter. This section deals with the vowel elements through a combination of various sindhenan styles including: West Java, Banyumas, Central Java, and Banyuwangi, which are then formulated into the concept of new music. The composition of this work uses several methods in its creation, including: determining materials, finding materials, processing materials, packaging materials, and then presenting them. The series tells about the process of the work of “Sindhen Voice: Gendhing Ginonjing Interpretation”. Keywords: Sindhen Voice, Gendhing Ginonjing, Music Composition
SANGGIT CATUR LAKON KALABENDU SUSUNAN SUMANTO SAJIAN MANTEB SOEDHARSONO Tri Wahyoe Widodo
Gelar : Jurnal Seni Budaya Vol 16, No 1 (2018)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (432.792 KB) | DOI: 10.33153/glr.v16i1.2335

Abstract

Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsi dan memahami struktur dramatik, sanggit catur, dan nilai-nilai dalam lakon Kalabendu susunan Sumanto sajian Manteb Soedharsono. Permasalahan yang dikaji adalah: (1) bagaimana struktur dramatik lakon Kalabendu susunan Sumanto sajian Manteb Soedharsono? (2) bagaimana sanggit dan garap catur lakon Kalabendu susunan Sumanto sajian Manteb Soedharsono?, dan (3) bagaimana nilai-nilai yang disampaikan dalam lakon Kalabendu susunan Sumanto sajian Manteb Soedharsono? Bahan penelitian dikumpulkan melalui studi pustaka, wawancara, dan pengamatan langsung dan tidak langsung pada pertunjukan lakon Kalabendu susunan Sumanto sajian Manteb Soedharsono. Dalam penelitian ini digunakan analisis struktur dramatik, sanggit, dan garap catur dengan menggunakan metode deskriptif interpretatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) lakon Kalabendu susunan Sumanto sajian Manteb Soedharsono ini sebenarnya merupakan petikan adegan-adegan penting dari beberapa lakon tradisi yaitu : lakon Pamuksa, lakon Bale Sigala-gala, lakon Bratayuda, dan lakon Pendhawa Boyong. Tahapan-tahapan dramatik dalam lakon Kalabendu adalah: exposition, inciting-action, conflication, crisis, climax, resolution, dan conclusion. (2) Sanggit catur lakon Kalabendu susunan Sumanto terdapat sanggit janturan (janturan jejer, janturan adegan, dan janturan peristiwa), sanggit pocapan (pocapan situasi, pocapan peristiwa, pocapan mandiri, dan pocapan peralihan), serta sanggit ginem (ginem blangkon, ginem baku, ginem isen-isen, dan ginem banyol). Garap catur lakon Kalabendu sajian Manteb Soedharsono terdapat garap janturan (janturan adegan), garap pocapan (pocapan peristiwa), dan garap ginem (ginem blangkon).(3) nilai-nilai yang disampaikan dalam lakon Kalabendu susunan Sumanto sajian Manteb Soedharsono adalah: nilai rendah-hati, nilai kesederhanaan, nilai tanggung-jawab, nilai kejujuran, nilai kebenaran, nilai persatuan, nilai balas budi, nilai ketuhanan, nilai ngundhuh wohing pakarti (hukum karma), nilai pendidikan, dan nilai keteguhan hati. Kata kunci: struktur dramatik, sanggit catur, nilai-nilai, lakon Kalabendu.  ABSTRACT The purpose of this study is to describe and understand the dramatic structure, sanggit , catur and values in lakon Kalabendu of Sumanto’s composition presented by Manteb Soedharsono. The problems studied are: (1)  how the dramatic structure of Kalabendu by Sumanto presented by Manteb Soedharsono? (2) how is sanggit and garap catur of Kalabendu by Sumanto presented by Manteb Soedharsono ?, and (3) how the values presented in the Kalabendu by Sumanto presented by Manteb Soedharsono? Research materials were collected through literary studies, interviews, and direct as well as indirect observations of the Kalabendu performance of the Sumanto statue of Manteb Soedharsono. This study uses the analysis of dramatic struc-ture, sanggit, and garap catur. This study uses interpretative descriptive method. The results of the research show that: (1) Lakon Kalabendu of Sumanto’s composition presented by Manteb Soedharsono is actually an excerpt of important scenes from several traditional lakon: Pamuksa, Bale Sigala-gala, Bratayuda, and Boyong pendhawa. Dramatic stages in Kalabendu are: exposition, inciting-action, conflication, crisis, climax, resolu-tion, and conclusion. (2) The sanggit catur of Kalabendu arranged by Sumanto is janturan (janturan jejer, janturan adegan, and janturan events), sanggit of pocapan (pocapan of situation, pocapan of event, pocapan of mandiri, and pocapan of transit), and sanggit of ginem (ginem blangkon, ginem baku , ginem isen-isen, and ginem banyol). Garap catur of Kalabendu by Manteb Soedharsono include janturan (janturan adegan), pocapan (pocapan adegan), and ginem (ginem blangkon). (3) The values presented in lakon Kalabendu composed by Sumanto presented by Manteb Soedharsono covering the values of: humble, simplicity, responsibility, hon-esty, truth, unity, relationship, divinity, karma, education, and steadiness. Keywords: dramatic structure, sanggit catur, values, lakon Kalabendu
ANALISIS GENDER FILM SALAH BODI MELALUI SEMIOTIKA CHRISTIAN METZ Mohammad Mahrush Ali
Gelar : Jurnal Seni Budaya Vol 16, No 1 (2018)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4018.283 KB) | DOI: 10.33153/glr.v16i1.2340

Abstract

ABSTRAK Tulisan ini membahas mengenai gender yang terdapat pada film Salah Bodi melalui semiotika Metz. Pengamatan gender pada tokoh utama yaitu Farhan (Andien) dan Inong (Indra). Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan teknik pengumpulan data yaitu telaah dokumen, studi pustaka, dan wawancara. Hasil dari tulisan ini adalah (a). Menghasilkan pemaparan dari analisis menggunakan semiotika Christian Metz pada film Salah Bodi. Delapan grand sintagmatiknya yaitu Autonomous Shot, Parallel Syntagma, Descriptive Syntagma, Alternating Syntagma, Scene, Episodic Sequence, dan Ordinary Sequence terkandung dalam film Salah Bodi kecuali sintagma kurung (Bracket Syntagma). Rangkaian sintagmatik Metz mengungkap adegan-adegan yang berdasarkan atas gender dan bertujuan untuk menunjukkan kepada penonton identitas gender dari tokoh film (b). gender yang ditampilkan dalam film Salah Bodi memiliki kecenderungan berprilaku tersendiri seperti penampilan fisik, orientasi seksual, kebiasaannya, dan respon sosial dari masyarakat. Meskipun di akhir film ditunjukkan tokoh utama kembali ke kodrat aslinya. Dalam pembahasan ini juga didukung oleh argumen dari pelaku di luar film. Kata kunci: Gender, Film Salah Bodi, Semiotika Christian Metz.  ABSTRACT This paper discusses about gender contained in film Salah Bodi through Metz semiotics. The observation of gender is focused on the main characters, Farhan (Andien) and Inong (Indra). The method used is qualitative descriptive, with data collection techniques namely document review, literature study, and interview. The re-sults of this paper are (a). A presentation of the analysis using Christian Metz’s semiotics on the film Salah Bodi. The eight grand syntagmatic namely Autonomous Shot, Parallel Syntagma, Descriptive Syntagma, Alternating Syntagma, Scene, Episodic Sequence, and Ordinary Sequence are contained in the film Salah Bodi except Brackets Syntagm (Bracket Syntagma). The Metz’s syntagmatic sequence reveals the scenes based on gender and aims to show the audience the gender identity of the film character (b). the gender shown in the film Salah Bodi has a tendency to behave in isolation such as physical appearance, sexual orientation, habits, and social responses from the community, even though at the end of the film, the main character is shown back to his original nature. This discussion is also supported by the arguments from actors outside the film. Keywords: Gender, Film Salah Bodi, Christian Metz Semiotics. .
“GIN” REFLEKTIF ZAMAN DALAM KONTEKS PERTUNJUKAN LINTAS MEDIA Mochammad Gigin Ginanjar
Gelar : Jurnal Seni Budaya Vol 16, No 1 (2018)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (352.653 KB) | DOI: 10.33153/glr.v16i1.2336

Abstract

ABSTRAK Hari ini, ketidakseimbangan terjadi semakin menjadi–jadi, manusia bekerja tak kenal ruang waktu. Sama seperti robot yang selalu bekerja, bekerja dan bekerja. Padahal jika masih ingin disebut manusia maka perlu sedikit usaha menyeimbangkan pikiran dan jiwa. Karya ini seperti pikiran–pikiran yang menumpuk, tumpang tindih, dan bekerja seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Secara bentuk, karya ini mencoba menawarkan kembali tentang permasalahan sikap, makna kolaborasi antarmedia seni, dan penyikapan ruang pertunjukan. Kata kunci: konsep, manusia, pertunjukan, kolaborasi  ABSTRACT Today, imbalances are increasingly growing up. Humans work without knowing the space of time. It is a robot that always works, works and works. Even if you still want to be called a human, you need a little effort to balance your mind and soul. This work is like thoughts that accumulate, overlap, and work like a time bomb ready to explode at any time. In form, this work tries to offer the attitude issues, the meaning of collaboration between art media, and the performance of performing space. Keywords: concept, human, performance, collaboration
KENDANGAN PINATUT DALAM SAJIAN KLENENGAN Sigit Setyawan
Gelar : Jurnal Seni Budaya Vol 16, No 1 (2018)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (505.569 KB) | DOI: 10.33153/glr.v16i1.2341

Abstract

ABSTRAK Kendangan pinatut adalah aktivitas yang harus dilakukan pengendang untuk menghidupkan sajian gending pada sajian pertunjukan karawitan mandiri gaya Surakarta atau lazim disebut klenengan. Untuk alasan tersebut maka diperlukan sebuah penelitian untuk mengeksplanasi kendangan pinatut dengan cara mentransfer konsep musikal karawitan yang masih berada dalam ruang oral menjadi kajian ilmiah - keilmuan karawitan - menurut sudut pandang para praktisi karawitan. Maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi Alfred Schut. Schutz memandang manusia sebagai “self elucidation” atau “penjelasan atau uraian diri” yang dalam pelaksanaan penelitian lebih banyak menggali: apa yang mereka katakan, apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka tafsirkan tentang dunia mereka(Walsh dan Wals, 1967). Pendekatan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah emic fenomenologi. Apa yang ingin dilukiskan dari suatu kebudayaan harus atau sebaiknya ditentukan secara emic, yakni mengikuti pandangan pemilik kebudayaannya (Ahimsa dalam Waridi, 2005: 34). Selain mencari data berdasarkan pustaka, penelitian ini menitik beratkan pada metode wawancara secara mendalam dari para praktisi karawitan kemudian dikomparasikan dengan data-data audio rekaman klenengan dan peristiwa klenengan secara langsung. Kendangan pinatut merupakan kendangan yang disajikan tanpa mengikuti konvensi serta sistematika kendangan yang telah disepakati oleh para pelaku karawitan. Kendangan pinatut disajikan berdasarkan faktor-faktor pembentuknya/ pemicunya, sehingga menghasilkan kesan rasa yang sesuai dan pantas. Kendangan pinatut hadir karena ada faktor pembentuknya yaitu lagu, berikut variasinya yaitu kalimat lagu, ritme, cakepan dan garap balungan. Kata kunci: karawitan, klenengan, kendangan, pinatut.  ABSTRACT Pinatut is an activity that has to be carried out by pengendang (the kendang player) to turn on the traditional gending in the Surakarta style of independent musical performances or commonly called klenengan. This study explains the pinatut kendangan by transferring karawitan concepts that are still in the oral space into scientific studies - karawitan science - according to the karawitan practitioners’ point of view. The approach used in this research is the phenomenology of Alfred Schut. Schutz views humans as “self-elucidation” or “explanation or self-description” which in the research explores more about: what they say, what they think, what they interpret about their world (Walsh and Wals, 1967). Another approach used in this study is emic phenomenology. What you want to describe from a culture must or should be determined emotionally. It is supposed to follow the owner’s view of the culture (Ahimsa in Waridi, 2005: 34). The data is based on literature, besides, this study focuses on in-depth interview methods from karawitan practitioners then compared with audio recordings of klenengan and incidental live events. kendangan pinatut is kendangan that is presented without following the convention and systematics of kendangan agreed by the musicians. Kendangan Pinatut is presented based on their forming / triggering factors, so that it produces an appropriate sense of taste. Kendangan Pinatut emerges because of the constructing factors include the song and its variations namely the song’s sentence, rhythm, cakepan, and garap balungan. Keywords: karawitan, klenengan, kendangan, pinatut.
AKSARA JAWA SEBAGAI IDE PENCIPTAAN KARYA TARI AKSARA TUBUH OLEH BOBY ARI SETIAWAN Fani Dwi Hapsari; RM. Pramutomo
Gelar : Jurnal Seni Budaya Vol 16, No 1 (2018)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (682.984 KB) | DOI: 10.33153/glr.v16i1.2337

Abstract

ABSTRAK “Aksara Jawa Sebagai Ide Penciptaan Karya Tari Aksara Tubuh Oleh Boby Ari Setiawan”. Penelitian ini dilakukan sebagai ide penciptaan sebuah karya baru yang bersumber dari huruf aksara Jawa. Sebagai salah satu bentuk kesenian tari kontemporer. Penelitian tentang karya tari Aksara Tubuh sebagai sesuatu yang bermuatan kreatif. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah, bentuk ide penciptaan karya tari Aksara Tubuh beserta elemen-elemen koreografi yang ada pada karya ini. Beberapa rumusan masalah tersebut terinci sebagai berikut: 1. Mengapa Boby Ari Setiawan menggunakan aksara Jawa sebagai acuan karya tari Aksara Tubuh? Bagaimana kreativitas aksara Jawa menjadi bentuk koreografi Aksara Tubuh? 3. Bagaimana visualisasi Aksara Tubuh karya Boby Ari Setiawan? Untuk mengungkap berbagai aspek tersebut menggunakan pendekatan studi kasus dengan metode Etnokoreologi. Metode yang dilakukan adalah metode penelitian kualitatif. Selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan landasan konseptual dan teori yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat. Hasil penelitian menunjukan bahwa Boby Ari Setiawan mempunyai ciri-ciri pribadi yang kreatif. Mengembangkan bakat dengan didasari latar belakang kesenimanan Boby, dan tidak lepas dari dasar tari tradisi Jawa. Eksplorasi merupakan proses berfikir, berimajinasi serta merasakan dan merespon suatu objek yang diperoleh melalui panca indera. Penggabungan dan penggunaan dua objek mate-rial antara bentuk huruf aksara. Jawa dan dasar tari tradisi gaya Surakarta. Dapat diambil kesimpulan bahwa seorang koreografer perlu berfikir kreatif tentang suatu objek hingga menjadi ide kreatif dalam karyanya dan tidak lepas dari nilai pendidikan yang ada. Kata kunci: Aksara Jawa, Aksara Tubuh, Boby Ari Setiawan.  ABSTRACT “Aksara Jawa As The Ideas For The Creation Of A Dance Work Aksara Tubuh By Boby Ari Setiawan”. This research is carried out as the idea of creating a new work based on Javanese script as a form of contempo-rary dance art. The research is about a dance work Aksara Tubuh as something that is creative. The problem studied in this study is the form of the idea of creating the dance work Aksara Tubuh along with the choreo-graphic elements in this work. The problems are formulated as the followings: 1. Why Boby Ari Setiawan use Javanese script as the reference for the dance Aksara Tubuh ; 2. How can the creativity of Javanese script become the choreographic form of Aksara Tubuh ; and 3. How the visualization of Aksara Tubuh by Boby Ari Setiawan is? To convey these various aspects, the research uses a case study approach with Ethnocoreology method. The method used is qualitative research method. The data is analyzed by a conceptual basis. The results showed that Boby AriSetiawan had creative personal characteristics. He develops his talent based on his artistic background, and the Javanese traditional dance. Exploration is a process of thinking, imagining, feeling and responding to an object obtained through the five senses. It is about the combination and usage of two material objects between Javanese script and basic Surakarta-style traditional dance. It can be con-cluded that a choreographer needs to think creatively about an object so that it becomes a creative idea and cannot be separated from the value of education. Keywords: Javanese script, Aksara Tubuh, Boby Ari Setiawan.
KEBERADAAN BATIK TUTUR BLITAR KARYA EDDY DEWA Rengga Kusuma Nawala Sari
Gelar : Jurnal Seni Budaya Vol 16, No 1 (2018)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (926.787 KB) | DOI: 10.33153/glr.v16i1.2342

Abstract

ABSTRAK Batik Tutur merupakan hasil pengembangan dari motif batik Afkomstig Uit Blitar 1902, warisan budaya masyarakat blitar pada masa lampau yang dikoleksi museum belanda. Saat ini batik tutur memiliki 15 motif dengan berbagai macam nama sesuai motif dan makna, nama pada setiap motif mengandung pesan moral atau pitutur yang ingin disampaikan Eddy Dewa sebagai pencipta motif kepada pemakainya. Tujuan penelitian ini yaitu latar belakang penciptaan batik tutur karya Eddy Dewa. Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pengumpulan data dan pengolahan data. Pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, dan studi pustaka, sedangkan pengolahan datanya menggunakan interaksi analisis,hasil analiss dari penelitian ini yang didapat adalah batik tutur memiliki fungsi sebagai sarung dengan pola motif yang sama dengan pola sarung yang memiliki tumpal tengah, dan makna yang terkandung merupakan intepratasi Eddy Dewa dalam memaknai lingkungan sekitar. Kata kunci: Revitalisasi, Batik Afkomstig Uit Blitar, Batik Tutur.  ABSTRACT Batik Tutur is the result of the development of batik motif Afkomstig Uit Blitar 1902. It is the cultural heritage of Blitar community in the past which was collected by the Dutch museum. Currently, batik tutur has 15 motifs with various names according to the motives and meanings. The name of each motif contains a moral mes-sage or a message that Eddy Dewa wishes to convey as the creator of the motif to the consumers. The purpose of this study is to know the background of batik tutur creation by Eddy Dewa. The research used is qualitative research methods with data collection and data processing. Data collection includes observation, interviews, and literature study, while the data processing uses interaction analysis. The results of this re-search tells that batik tutur has a function as a sarong with the same motif pattern as a sarong pattern that has a middle tumpal. The meaning contained tells about Eddy Dewa’s interpretation in handling interpreting the surrounding environment. Keywords: Revitalization, Batik Afkomstig Uit Blitar, Batik Tutur.
ESTETIKA WANGSALAN DALAM LAGU SINDHENAN KARAWITAN JAWA Sukesi Rahayu
Gelar : Jurnal Seni Budaya Vol 16, No 1 (2018)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (345.256 KB) | DOI: 10.33153/glr.v16i1.2338

Abstract

ABSTRAK Sindhenan merupakan salah satu aspek penting dalam pergelaran Karawitan Jawa baik dalam pertunjukan mandiri maupun fungsi karawitan sebagai salah satu pendukung pertunjukan yang memiliki unsur-unsur estetis maupun etis. Unsur-unsur estetis berkaitan dengan bentuk susunan frasa serta diksi yang digunakan dalam teks sindhenan, antara lain yang terdapat dalam wangsalan. Wangsalan merupakan salah satu teks sindhenan yang memiliki kandungan nilai yang dihayati dan diyakini sebagai pandangan hidup masyarakat jawa, nilai-nilai tersebut selanjutnya disebut sebagai nilai etis yang terbingkai dalam budaya jawa. Penelitian ini merupakan penelitian yang mengkaji makna yang terkandung dalam wangsalan sindhenan yang dikaji dengan perspekstif estetika bunyi dan persajakan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan model penelitian kualitatif dimana data yang disajikan merupaka data yang diperoleh secara langsung dari lapangan, dengan sudut pandang penulis sebagai pelaku. Hasil dari penelitian ini mengungkap makna yang terkandung dalam wangsalan yang disampaikan oleh seorang sindhen hubunganya dengan ideologi serta cara pandang orang jawa dalam memaknai kehidupan. Kata kunci: Sindhen, Wangsalan, Estetika Bunyi.  ABSTRACT Sindhenan is an important aspect in the performance of Javanese Karawitan both in independent perfor-mances and karawitan functions as one of the supporting aspects of the performance that has aesthetic and ethical elements. Aesthetic elements are related to the form of the phrase structure and the diction used in the sindhenan text, including those in the wangsalan. Wangsalan is one of the sindhenan texts which has values that are appreciated and believed to be a Javanese view of life. These values are then referred to as ethical values framed in Javanese culture. This research studies the meaning contained in the sindhenan wangsalan which is studied with aesthetic perspectives of sound and poetry. The method used in this study is a qualitative research model where the data presented is data obtained directly from the field, with the author’s perspective as the actor. The results of this study reveal the meaning contained in wangsalan conveyed by a sindhen in relation to the Javanese view and ideology in interpreting life. Keywords: Sindhen, Wangsalan, Sound Aesthetics.
STRATEGI CITY BRANDING PEKALONGAN “WORLD’S CITY OF BATIK” Rifda Amalia Susanti
Gelar : Jurnal Seni Budaya Vol 16, No 1 (2018)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2278.042 KB) | DOI: 10.33153/glr.v16i1.2343

Abstract

ABSTRAK Tulisan ini membahas tentang strategi kota Pekalongan dalam mempromosikan city branding “World’s City of Batik”. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan teknik pengumpulan data yaitu telaah dokumen, wawancara dan studi pustaka. Hasil dari tulisan ini adalah (a) menghasilkan pemaparan tentang aset kota yang dimiliki oleh kota Pekalongan, yaitu budaya (cultural) yang diwakili oleh pariwisata berbasis batik dan kemudahan (amenity) termasuk fasilitas yang tersedia di kota Pekalongan. Aset kota ini merupakan salah satu penguat branding kota. (b) strategi branding yang dilakukan pemerintah kota meliputi strategi visual dan strategi promosi. Strategi visual yang dilakukan di antaranya penciptaan identitas visual yang merepresentasikan karakter kota Pekalongan seperti logo, tagline, warna dan tipografi. Identitas visual ini nantinya dikomunikasikan dalam berbagai media promosi seperi merchandise, spanduk, poster, leaflet, dan sebagainya. Strategi promosi yang dilakukan oleh pemerintah kota yaitu dengan mengadakan festival tahunan Pekan Batik, membuat labelisasi batik, landmark, zebracross batik. Selain logo branding, kota Pekalongan secara konsisten menggunakan motif batik khas Pekalongan, yaitu Jlamprang dalam media promosi. Kata kunci: City Branding, Pekalongan, Batik.  ABSTRACT This paper discusses about the strategy of Pekalongan city in promoting the city branding “World’s City of Batik”. The method used is qualitative descriptive, with data collection techniques namely document review, interviews and literature study. The results of this paper are (a) an explanation of the city assets owned by Pekalongan city, it is the culture represented by batik-based tourism and convenience (amenities) including available facilities in Pekalongan. This city asset is one of the city’s branding boosters. (b) the branding strategy carried out by the city government includes visual and promotion strategies. Visual strategies carried out include the creation of visual identities that represent the character of Pekalongan city such as logos, taglines, colors and typography. This visual identity will be communicated in various promotional media such as merchandise, banners, posters, leaflets, and so on. Promotional strategies carried out by the city govern-ment include an annual Batik Festival, making batik labels, landmarks, and zebra cross batik. In addition to the branding logo, Pekalongan city consistently uses typical batik motifs of Pekalongan, namely Jlamprang in promotional media. Keywords: City Branding, Pekalongan, Batik.
SULAPA EPPA PADA LIPA SABBE SENGKANG Supratiwi Amir
Gelar : Jurnal Seni Budaya Vol 16, No 1 (2018)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1487.359 KB) | DOI: 10.33153/glr.v16i1.2339

Abstract

ABSTRAK Lipa sabbe merupakan sebuah sarung yang terbuat dari benang sutra yang ditenun menggunakan alat walida dan bola-bola. Dalam masyarakat Bugis sarung telah menjadi bagian yang tidak pernah lepas dari kegiatan kehidupan sehari-hari, misalnya sarung tuk ibadah, memanjat pohon, mengusir nyamuk, menggendong anak, dan pakaian sehari-hari lain. Berbeda dengan lipa sabbe yang digunakan dalam kegiatan ritual khusus, juga memiliki motif yang mengandung sebuah makna. Kekhususan ini menjadi hal yang menarik bagi penulis untuk mengkaji lipa sabbe. Melihat bentuk dan motif-motif lipa sabbe yang cenderung segi empat kotak-kotak merupakan sebuah manifestasi dari wujud sulapa eppa. Hal ini merupakan bentuk upaya masyarakat untuk melakukan sebuah pemaknaan, agar lipa sabbe mampu bereksistensi dan tidak hilang dari peradaban. Kata kunci: Lipa’ Sabbe, Sulapa’ Eppa’, Sengkang.  ABSTRACT Lipa sabbe is a sarong made of silk thread which is woven using a tool of walida and balls. In Bugis society, the sarong has become a part that has never been separated from the activities of daily life. The sarong for prayer gloves, for climbing trees, for repelling mosquitoes, for carrying children, and other everyday clothes are different. Lipa sabbe which is used in special ritual activities also has a different motive that contains a meaning. This particularity becomes an interesting thing for the writer to study lipa sabbe. Seeing the shape and motifs of lipa sabbe which tend to be rectangular squares is a manifestation of the sulapa eppa form. This is a form of community efforts to make a meaning in order that lipa sabbe is always exist and not disappear from civilization. Keywords: Lipa ’Sabbe, Sulapa’ Eppa ’, Sengkang.

Page 1 of 1 | Total Record : 10